Karya itu bisa dari mana saja mulainya...


The Beautiful Rainbow

Aku adalah seorang wanita yang mencintai keheningan, walaupun aku hidup di kota yang penuh dengan keramaian tapi aku merasa berdiri di pojok yaang paling gelap, mematung di temani kesendirian. Semua orang takut dengan kegelapan, tapi tidak denganku. Aku mencintainya.  Hingga mungkin tuhan mempertemukanku dengan seseorang yang melengkapi  ‘kegelapanku’. Aku baru melewati wisuda ku tahun kemarin, dan sekarang aku sedang bekerja di sebuah perusahaan penerbit , dimana aku mendapatkan posisi sebagai editor, itu cukup menyenangkan. Editor—itu berarti aku akan berkutat dengan lembar kertas yang berisi berjuta kata, meneliti setiap karya-karya orang yang di kirimkan ke kantorku untuk di terbitkan, dan aku hanya berkomunikasi dengan kertas-kertas itu, mereka seakan  mengajak ku bercanda, kadang aku tertawa, menangis , tersenyum geli, dan sebagainya.
Aku wanita lajang, yang sedang menikmati kesendirian, usiaku tidak terlalu tua, hanya 25 tahun yang tidak terlalu tua bagiku, tapi tidak menurut orang tua ku. Entah pikiran klasik darimana hingga mereka berniat untuk menjodohkan ku dengan seorang pria yang mereka anggap sebagai lelaki baik dan mapan. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara, intinya aku adalah anak terakhir, kakak ku juga seorang perempuan tapi keadaannya sangat bertolak belakang dengan keadaanku, dimana  dia adalah seorang yang aktif, disenangi banyak pria, bahkan setelah menikah pun dia aktif wara-wiri di komunitas wanita sosialita. Orangtua ku ingin aku sepertinya, tapi aku belum bisa menuruti permintaan mereka.

Hari itu orang tua lelaki yang dijodohkan dengan ku tiba di rumah, aku di paksa mengenakan pakaian kebaya dan sanggul khas jawa yang biasa di pakai keluarga kami saat ada acara sakral seperti ini, sakral? Yaaa, ini adalah acara pertunangan kami. Aku dengan Andre. Semua rencana di persiapkan dengan matang di hari ini, tanggal pernikahan, biaya, dan lain-lain.
Selama perbincangan ini , aku dan Andre tak banyak bicara, acara ini bukan seperti acara kami, yang kami lakukan daritadi hanyalah mengangguk dan tersenyum, hanya itu.
Aku lihat Andre juga tidak terlalu senang dengan perjodohan ini, dengar-dengar alasan orangtuaku menjodohkan ku karena aku dan Andre memiliki kesamaan. Bukankah hubungan akan lebih indah jika mempunyai banyak perbedaan? Perbedaan yang akan menyatukan dua hati, lalu berjalan mengarungi arus dengan rumus perbedaan-perbedaan tersebut? Ah entahlah mungkn mereka tidak memahami hal itu.

Tanggal 03 April aku mengakhiri masa lajangku, lelaki itu—Andre, mempersuntingku untuk menjadi istrinya, pestanya berjalan lancar, semuan undangan datang dan ikut merayakan hari sakral ini, semua orang berbahagia, tapi tidak dengan suasana hatiku. Bagaimanapun juga bibirku harus tetap tersenyum di tengah keluarga besar aku dan Andre. Tapi tetap saja, aura buram tidak dapat aku hapuskan begitu saja.
Andre bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan industri, kami tak pernah mengeluh dengan masalah keuangan, semuanya berjalan seperti yang diharapkan,  tapi tidak dengan komunikasi  antar suami-istri. Kami tidak pernah bertengkar, tentu saja tidak pernah bertengkar menyapa pun hanya seperlunya, pernikahan kami baru berjalan 3 bulan memang, tapi pernikahan ini tidak seperti pernikahan pada umumnya, ini lebih terlihat seperti dua orang yang  tersesat dan menemukan satu bangunan kosong dan dengan terpaksa mereka menempati bangunan itu, bahkan mungkin lebih buruk dari hal itu. Pasangan suami istri pada umunya pasti melakukan rutinitas yang dilakukan setiap si suami akan berangkat kerja di pagi hari, seperti membangunkan suami, menyiapkan pakaian kantornya, menyiapkan sarapan paginya, memakaikan dasi, mencium tangan jika hendak berangkat dan kemudian melambaikan tangan saat suami mulai melaju dengan mobilnya. Tapi itu hanya ada di scene sinetron, tidak sesuai dengan realita kehidupan yang ku alami.
Pagi itu , Andre bangun agak pagi, mungkin sebelum aku bangun dia sudah bangun terlebih dahulu dan menyiapkan sarapan, karena saat aku bangun telah tersedia nasi goreng di meja makan, baunya harum tercium sampai kamar. Aku bangun dan keluar kamar, terlihat Andre sedang merpikan meja makan, menyadari aku berada di ruangan itu, Andre menoleh dan tersenyum .Matanya mengisyaratkan agar aku segera duduk dan menyantap makannannya, aku mengangguk dan menghampiri kursi yang sudah ia persiapkan. Sikapnya begitu manis hari ini, dia duduk di hadapanku dan menyendokkan nasi goreng ke piring kosong yang ada di hadapanku, aku sedikit heran dengan perlakuannya. Pagi itu kami mengobrol ringan, tak seperti biasanya yang hanya diisi dengan “hmm”, dan suara batuk yang di buat-buat agar memecahkan keheningan.
Hari ke tiga setelah itu, aku melihat perubahan yang lebih signifikan lagi pada Andre, dia meminta ku untuk memasangkan dasi di kemeja nya “ istriku, bisakah kamu memasangkan dasi ini? Aku sedikit kerepotan”
Yatuhan, dia memanggilku dengan sebutan “istriku” , aku pun meninggalkan meja makan yang sedang ku bereskan tadi dan beranjak menghampiri  Andre, meraih dasi yang tadi ia berikan , dan memasangkan nya. Ia tersenyum lalu berujar “terimakasih” sambil mengelus lembut poni ku, aku hanya bisa tersenyum.
Oh iya, aku lupa memberi tahu , sekarang aku sudah tak menjadi editor lagi. Keluarga ku melarang ku berkarir, dan menyuruhku untuk menjadi ibu rumah tangga, awalnya aku benci dengan keputusan ini. Namun lambat laun aku menikmatinya. Hingga pada suatu hari, pukul  10 siang, aku masih berkutat dengan alat-alat kebersihan. Mulai dari dapur, gudang, halaman depan, dan kamar-kamar aku bersihkan. Hingga sampai di tempat terakhir saat aku sedang membersihkan kamar ku dan Andre aku tak sengaja menemukan satu note book berwarna cokelat usang yang tersimpan rapi di laci meja kerja Andre.
Sejenak aku menyimpan gagang sapu yang sedari tadi aku pegang, tanganku meraih kursi kerja di depanku, dan duduk disana. Lembar pertama aku buka note book itu.

hidupku sudah cukup hitam, tolong bantu aku menemukan warna di dunia ini. Untuk sedikit memberikan percikan keindahan, agar hidupku tak sia-sia.”
Aku belum paham dengan kalimat-kalimat yang tertulis di lembar pertama, kemudian aku buka kembali lembar berikutnya

hari ini semua masih semu, ajarkan aku untuk memulai sesuatu yang baru, walaupun hanya berawal dari kata. Ayolah, waktuku hanya sebentar.”

Kata-kata itu membuat aku semakin penasaran untuk membuka lembaran demi lembaran lagi, namun tak ada yang menarik, hingga aku temukan satu lembar berisi daun bunga mawar yang menghitam , mungkin ia sudah menyimpan daun itu sejak lama

aku menyimpan bunga mawar ini, karena dia memiliki warna yang indah, barangkali saja dia mau berbagi warnanya padaku, maka aku petik mawar ini, dan aku simpan  . namun saat aku lihat ternyata warnanya tak terlihat sama seperti saat aku memetiknya, warnanya memudar, menjadi gelap. Dan kini aku sadar, sesuatu yang hidup akan kehilangan warna dan keindahannya jika tak berada di tempat yang benar. Aku paham sekarang”

Ternyata aku salah, aku pikir aku dan dia sama. Ternyata  tidak, aku adalah seseorang yang setia dengan kegelapanku, sedangkan Andre adalah yang hidup dengan kegelapan namun hendak ber-reingkarnasi menjadi warna yang indah.

Halaman berikutnya aku buka dengan hati-hati.

hari ini, tuhan menjawab semua catatan-catatan ku. Dia memberikan aku kesempatan untuk melukiskan apa yang aku inginkan di sebuah kanvas yang telah ia kirim, ia mengirimkan gadis cantik untuk menjadi istri ku. Namun sayang, sepertinya dia tak mau ku jadikan kanvas, apa aku harus berhenti untuk mencari warna? Oh tuhan jangan biarkan hidupku sia-sia. Aku mencoba untuk menggariskan satu warna di kanvas itu, namun teksturnya terlalu kasar, dan warna yang ku miliki tak terlalu terang hingga gambar yang ku hasilkan juga tak terlalu indah. Jika sedetik saja kau izinkan aku untuk meminta warna yang beragam, dan biarkan aku memperbaiki kanvas itu maka aku akan berusaha. Dan kau kanvas ku, inginkah kau sama-sama berjuang denganku dan bantu aku untuk menciptakan warna-warna pelangi itu? Aku mohon anggukkan kepala mu”

Di halaman itu aku benar-benar mengerti bagaimana Andre yang sesunggguhnya, ternyata aku salah. Salah besar. Aku salah karena telah berprasangka bahwa dia nyaman dengan keadaan kami yang sangat renggang, tak ada komunikasi, tak ada canda tawa setiap waktu luang di sore hari, tak ada kata “I Love You” yang terucap setiap hendak tidur, dan juga tak ada kecupan kening saat hendak berpisah.
“maafkan aku, aku bukan kanvas yang baik yang bisa menemani mu. Aku belum bisa melengkapi harimu” hanya kata-kata itu yang sanggup aku ungkapkan kali itu.

“kamu makan malam di rumah kan? Aku akan menyiapkan makanan kesukaan mu. Tadi aku menanyakan pada ibumu apa makanan kesukaanmu, dan semoga kamu suka  ya.” Sore itu aku mengirimkan satu SMS pada Andre. Tak perlu menunggu balasan, aku bergegas menyiapkan semua makanan kesukaan Andre di meja makan, semua aku persiapkan semanis mungkin. Aku siapkan beberapa lilin kecil di meja makan agar sedikit menambah aksen romantis malam ini, ini adalah hal pertama yang menurut ku “spesial” yang aku persiapkan untuk ‘suamiku’.
Pukul 07.00 , suara bel terdengar nyaring dari arah halaman. Sepertinya itu Andre. Aku merapikan pakaianku, merapikan rambutku, merapikan segala yang menempel di di tubuhku dan bergegas untuk membuka kan pintu. Aku ingin terlihat cantik malam ini. Begitu pintu ku buka, ternyata bukan Andre. Melainkan Ronald—adik iparku.

Malam itu aku terpaksa untuk meninggalkan rumahku, menggagalkan rencana makan malam romantis dengan Andre, karena Ronald meminta ku untuk datang ke rumahnya atas permintaan orang tuanya.
Setibanya disana, rumah mertua ku kelihatan sepi, Ronald menuntunku untuk memasuki satu kamar, kamar Andre. Entah perasaan apa yang harus aku luapkan saat itu, rasanya aku ingin berteriak, meraung dan meremas benda apapun yang bisa ku remas. Namun semua itu tertahan di tenggorokan ku , dan akhirnya membuat aku tak dapat berkata apa-apa. Semua anggota keluarganya ada di kamar ini, membuat aku merasa semakin sesak.

Aku berjalan melangkah mendekati Andre yang sedang berbaring di tempat tidurnya, aku tersenyum getir, tangan ku ku beranikan untuk menyentuh tangannya yang terkulai lemas di samping paha nya.
“kamu kenapa?” ujar ku dengan suara yang agak parau. Andre hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Senyumannya bukan membuat aku tenang, yang ada dada ku semakin sesak, air mataku mulai lancang menetes. Melihat keadaan seperti ini, Andre mengusap lembut kepalaku . “kamu jahat! Aku sudah menyiapkan makan malam istimewa di rumah, kenapa kamu malah ada disini? Kamu tidak mau memakan masakanku?” itu adalah kalimat protes terpanjang yang aku sampaikan padanya untuk pertama kali. Andre lagi-lagi hanya tersenyum, orang tua andre yang sedari tadi berdiri di belakangku terlihat menahan air mata dan mencoba menenangkan aku.
“ada apa? Apa yang terjadi?”  ujarku di sela-sela isakan tangisku. Andre hanya menjawab “ tidak ada. Semuanya baik-baik saja” dan terus seperti itu. Hingga mertua ku membawa ku keluar dari kamar, dan menjelaskan apa yang terjadi. Suamiku—Andre mengidap penyakit meningitis. Aku bodoh, aku bahkan tidak tahu apa-apa akan hal itu, Andre tak pernah mengeluhkan apa-apa, mungkin lebih tepatnya aku tidak memberikannya kotak keluhan. Saat itu juga,pundakku lemas, aku menangis, ingin menyesal tapi aku tau itu tak ada artinya sekarang.

Suara ketukan kaki yang beradu dengan lantai rumah sakit terdengar sangat nyaring, pukul 11.00 Andre di larikan ke rumah sakit, tadi saat kami meninggalkan Andre ke ruang tengah dia mengalami  kejang-kejang yang sangat hebat. Ia mengerang sambil terus memegangi kepalanya. Tuhaan aku tak sanggup melihat lelaki ini mengerang sekeras itu.

Aku, ronald dan kedua orang tua andre duduk di kursi tunggu, begitu juga dengan keluarga ku yang menyusul kami ke rumah sakit. Aku menghepaskan diri di pelukan ibu mertuaku yang terlihat berusaha tegar di hadpan kami semua.
“nak, terima kasih karena telah menjaga Andre. Dia selalu bercerita pada ibu bahwa dia memiliki istri yang sangat mencintainya, terimakasih karena telah membuat andre berubah menjadi sosok yang ceria akhir-akhir ini, dia juga selalu becerita pada kami bahwa kamu selalu memasangkan dasi setiap pagi, menyiapkan makan nya, dan selalu berbalas kata I love you setiap malam. Ibu senang mendengarnya”
Seketika aku melepaskan pelukan ku dan memandang wajah ibu yang tersenyum haru, tapi apa yang di maksud dengan semua perkataan ibu barusan? Apa ia bermaksud menyindir? Bukankah aku sama sekali tidak pernah melakukan han-hal seperti itu pada Andre? Ya tuhan, aku tau. Mungkin Andre mencoba untuk tak membuat orang tua nya khawatair, mungkin Andre ingin meyakinkan ibunya bahwa dia dijaga oleh malaikat yang berhati mulia. Tapi itu semua hayna karangan yang di buat-buat. Tuhan aku mohon, jangan panggil Andre sekarang.

12.30
Andre tak cukup kuat untuk melawan semua rasa sakit yang selama ini di deritanya, ia sudah terlelap sekarang.  Semua peralatan medis perlahan dilepaskan. Tak ada suara hening, semua insan yang ada disini meraung mengeluarkan air mata yang membuat suasana hati ini semakin tak karuan. Aku tak mampu berdiri, tubuhku lemas, aku belum sempat menghidangkan masakan ter-enak ku untuk andre, aku belum sempat menjadi kanvas yang halus untuknya, kami belum sempat menciptakan lukisan indah . tuhan, beri aku waktu satu menit saja agar dia mendengar bahwa aku mencintainya.

Hari ini pemakaman Andre, tepat 100  hari perkawinan kita. Aku harap dia menemukan warna di alam sana. Terimakasih karena kamu telah berusaha memberikan corak di dalam hidupku, walau aku tak pernah menyadari hal  itu, kini aku tak mau menyukai kegelapan, aku ingin hidup. Aku ingin melanjutkan cita-citanya untuk hidup bersama kanvas dan mewarnainya dengan sejuta warna pelangi.

0 komentar: